Pada prinsipnya laut dipandang
sebagai wilayah yang open access. Prinsip ini berdiri di atas asas bahwa
laut merupakan “common property right” (kepemilikan bersama). Konsep ini
menyebabkan orang secara logis dapat melakukan penangkapan kapan saja, di mana
saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat tangkap apa saja.
Permintaan pasar yang tinggi terhadap produk perikanan tertentu, menjadi salah
satu alasan utama para nelayan berlomba-lomba melakukan eksploitasi sumberdaya
ikan. Selain itu, bertambahnya jumlah nelayan yang mengakses wilayah
penangkapan yang sama, menciptakan suasana kompetisi yang tinggi di antara
mereka, sehingga masing-masing berusaha mendapatkan sumberdaya
sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat. Nelayan akhirnya terdorong untuk
menciptakan dan menggunakan alat tangkap dan cara-cara penangkapan yang mampu
mendapatkan hasil tangkapan dalam jumlah besar dalam waktu singkat, tanpa lagi
memperhatikan apakah cara tersebut dapat merusak lingkungan atau tidak.
Destruktif
fishing merupakan kegiatan penangkapan namun dengan etika penangkapan yang
salah yang tidak bertanggung jawab karena metode penangkapan ini dilakukan
dengan cara merusak atau menghancurkan lingkungan lokasi penangkapan yang pada
akhirnya akan merusak tatanan ekosistem laut yang telah ALLAH ciptakan.
Penangkapan ini hanya menguntungkan kesebelah pihak, yaitu bagi para nelayan.
Secara umum,
maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1)
Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan
tenaga pengawas yang ada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan
di laut (3) Lemahnya kemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan
pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hukum
(5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
Setelah
dikatakan berhasil dengan program ilegal fishing, sekarang Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudji Astuti mulai memfokuskan diri untuk penanganan dan
pecegahah Destruktif fishing. Melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)
KKP berupaya terus untuk menjaga laut dari ancaman destructive fishing.
Kegiatan destructive fishing yang dilakukan oleh oknum
masyarakat umumnya menggunakan bahan peledak (bom ikan), dan penggunaan bahan
beracun untuk menangkap ikan. Penggunaan bahan-bahan tersebut mengakibatkan
kerusakan terumbu karang dan ekosistem di sekitarnya, serta menyebabkan
kematian berbagai jenis dan ukuran yang ada di perairan tersebut. Setidaknya,
hasil penelitian World Bank tahun 1996 menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat
250 gram akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 m2.
Dalam hal pengawasan kegiatan destructive fishing, Direktorat
Jenderal PSDKP melalui para Pengawas Perikanan yang tersebar di seluruh
Indonesia telah berhasil menggagalkan kegiatan pengggunaan bom ikan.
Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan
bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasasi, membawa, dan/atau menggunakan
alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Apabila diketahui dan didapatkan
cukup bukti terdapat oknum masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan
dengan cara merusak, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5
tahun atau denda paling banyak Rp. 2 milyar.
Penanganan Destructive Fishing
Secara umum
penanganan destructive
fishing meliputi :
·
Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau
penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan
secara ilegal.
·
Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan. Apakah motif ekonomi atau ada motif lainnya. Setelah
diketahui permasalahan, upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.
·
Meningkatkan penegakan dan penaatan hukum.
·
Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Dengan
luasnya wilayah laut Indonesia, memang terdapat keterbatasan Pemerintah untuk
mengawasi kegiatan destructive fishing. Mulai dari keterbatasan
personil pengawasan, kapal pengawas, dan jangkauan wilayah yang sangat luas.
Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk bersama-sama
memerangi pelaku destructive fishing.
Peran
serta masyarakat dapat dilakukan dengan mengamati atau memantau kegiatan
perikanan dan pemanfaatan lingkungan yang ada di daerahnya, kemudian melaporkan
adanya dugaan kegiatan destructive fishing kepada Pengawas Perikanan
atau aparat penegak hukum.